Senin, 18 Juli 2011

KEHIDUPAN AKHIRAT

BUAH KEPERCAYAAN TENTANG HARI KEBANGKITAN

Al-Quran menghendaki agar keyakinan  akan  adanya  hari  akhir mengantar  manusia untuk melakukan aktivitas-aktivitas positif dalam kehidupannya, walaupun aktivitas itu tidak  menghasilkan keuntungan  materi  dalam kehidupan dunianya. Salah satu surat yang berbicara tentang hal ini adalah surat Al-Ma'un (107).
Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa surat tersebut turun berkenaan  dengan Abu Sufyan atau Abu Jahl, yang setiap minggu menyembelih seekor unta.  Suatu  ketika,  seorang  anak  yatim datang  kepadanya meminta sedikit daging yang telah disembelih itu, namun ia tidak diberi bahkan dihardik dan diusir.
Surat Al-Ma'un dimulai dengan satu pertanyaan: “Tahukah kamu orang yang mendustakan ad-din?”
Kata ad-din dalam surat ini, secara sangat populer, diartikan dengan agama,  tetapi ad-din dapat juga berarti pembalasan. Dengan demikian yukadzdzibu  biddin dapat pula berarti mengingkari hari pembalasan atau hari akhir. Pendapat terakhir ini didukung oleh pengamatan yang menunjukkan  bahwa  Al-Quran bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteknya adalah pengingkaran terhadap hari kiamat. Perhatikan surat Al-Infithar (82): 9 dan juga surat Al-Tin (95): 7.
Kemudian, kalau kita kaitkan makna terakhir ini dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa  bantuannya kepada mereka  tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Bukankah yang percaya meyakini bahwa  kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, maka pasti ganjaran atau balasan perbuatannya akan diperoleh di akhirat kelak? Bukankah yang percaya hari kemudian meyakini bahwa Allah tidak menyia-nyiakan amal baik seseorang, betapa pun kecilnya?
Seseorang yang kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada di depan sana. Sikap demikian  merupakan pengingkaran atau pendustaan ad-din, baik dalam arti "agama",  lebih-lebih  lagi dalam arti hari kemudian.
Ad-din menuntut adanya kepercayaan kepada yang gaib. Kata gaib di sini, bukan sekadar kepercayaan kepada Allah atau  malaikat tetapi  ia  berkaitan  dengan banyak hal, termasuk janji-janji Allah melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan. Kepercayaan ini  mengantarkannya  meyakini janji Ilahi itu, melebihi keyakinannya menyangkut segala sesuatu yang  didasari oleh perhitungan-perhitungan akalnya semata-mata. Sehingga ketika itu, walaupun akalnya membisikkan bahwa "sikap yang akan  diambilnya merugikan/tidak menguntungkan", namun jiwanya yang percaya itu mengantar-kannya untuk melakukannya karena yang demikian sejalan dengan keyakinannya itu.
"Apa yang berada di tangan Allah lebih meyakinkan Anda daripada apa yang terdapat dalam genggaman tangan sendiri."
Dengan pertanyaan tersebut, ayat pertama  surat  Al-Ma'un  ini mengajak  manusia  untuk  menyadari  salah  satu  bukti  utama kesadaran beragama atau kesadaran  berkeyakinan  tentang  hari akhir,  yang  tanpa itu, keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata keberagamaannya nihil.
Surat Al-Ma'un yang terdiri dari tujuh ayat pendek ini,berbicara tentang  suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas  bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacara ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana tergambar  dalam ayat di atas -menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempit pun mengandung dalam jiwanya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya.
Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur'an menulis:
Mungkin ini (jawaban Al-Quran tentang siapa  yang  mendustakan agama/hari   kemudian yang dikemukakan dalam surat ini) mengagetkan jika dibandingkan dengan pengertian iman secara tradisional. Tetapi, yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran ad-din bukannya  ucapan  dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudara-saudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan perlindungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata, yang membenarkan  (kalimat yang diucapkan itu). Sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti di sisi-Nya dan tidak dipandang-Nya.
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis:
Kita tidak ingin memasuki diskusi dalam bidang  hukum  sekitar batas-batas  iman  dan Islam, karena batasan-batasan para ahli itu, berkaitan dengan interaksi  sosial  keagamaan.  Sedangkan surat  ini  (Al-Ma'un) menegaskan hakikat persoalan dari sudut pandang dan penilaian  Ilahi,  yang  tentunya  berbeda  dengan kenyataan-kenyataan  lahiriah  yang menjadi landasan penilaian interaksi antarmanusia.
Demikian surat ini menjelaskan hakikat  dan  buah  kepercayaan tentang hari akhir.
Akhirnya perlu digarisbawahi bahwa perhatian Al-Quran yang sedemikian besar menyangkut persoalan hari akhir, membawa berbagai dampak di kalangan ilmuwan, agamawan, dan filosof. Antara lain berupa kegiatan diskusi yang  menyita waktu dan energi mereka, khususnya detail kebangkitan tersebut apakah kebangkitan ruh dan jasad atau hanya ruh saja.
Dalam hal ini kita ingin menggarisbawahi bahwa seorang Muslim dituntut oleh agamanya untuk meyakini adanya hari kebangkitan setelah kematiannya di mana ketika itu ia menyadari eksistensi dirinya secara sempurna. Apa pun bentuk kebangkitan tersebut -apakah dengan ruh dan jasad atau dengan ruh saja- yang  pokok adalah bahwa ketika itu setiap manusia mengenal dirinya, tidak kurang dari pengenalannya ketika ia hidup di dunia.
Adapun keterangan tentang hakikat kebangkitan, bentuk, waktu dan  tempat-nya,  maka  kesemua hal ini berada di luar tuntunan agama. Karena itu, sangat boleh jadi pembahasan  para  filosof dan  ulama  tentang  soal  tersebut lebih banyak didorong oleh kepentingan  kepuasan   penalaran   akal daripada dorongan kehangatan iman.
Wa Allahu 'Alam.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

KEHIDUPAN AKHIRAT: KAPAN HARI AKHIR TIBA?

 

Al-Quran  -demikian juga hadis-hadis Nabi Saw.- yang berbicara panjang lebar tentang hari  akhir dari bermacam-macam aspek itu, tidak membicarakan sedikit pun tentang masa kedatangannya. Bahkan secara tegas dalam berbagai ayat serta hadis dinyatakan bahwa  tidak  seorang  pun mengetahui kapan kehadirannya.
Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu tentang hari akhir, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahan (ketentuan waktunya) (QS Al-Nazi'at [79]: 42-44).
Sekian banyak ayat  Al-Quran  yang  mengandung  makna  serupa, demikian pula hadis-hadis Nabi Saw  menginformasikannya.
Dalam  sebuah  hadis  dinyatakan  bahwa malaikat Jibril pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. -dalam rangka mengajar umat Islam- "Kapan hari kiamat?" Nabi Saw. menjawab: "Tidaklah yang ditanya tentang hal itu lebih mengetabui dari yang  bertanya." (Diriwayatkan  oleh  Muslim  melalui  sahabat Nabi Umar bin Khaththab).
Memang ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa  kedatangannya tidak lama lagi. Misalnya surat Al-Isra' ( 17): 51, "Kapankah itu (hari kiamat)?". Demikian tanya kaum musyrik. Lalu Nabi Saw. diperintahkan oleh Allah untuk menjawab:  Katakanlah, "Boleh jadi ia dekat."
Surat Al-Qamar (54): 1 juga menyatakan bahwa: “Telah dekat hari kiamat dan telah terbelah bulan”.
Dan surat Al-Anbiya' (21): 1, menyatakan: “Telah dekat kepada manusia hari perhitungan (kiamat) sedangkan mereka berada dalam kelalaian, lagi   berpaling (darinya)”.
Nabi Saw. juga bersabda: Aku diutus (dan perbandingan antara masa diutusku dengan) hari kiamat adalah seperti ini (sambil menggandengkan kedua jari-jarinya, yaitu jari telunjuk dan tengah). (Diriwayatkan oleh Muslim melalui Jabir bin Abdillah).
Apakah hadis dan ayat-ayat di atas menunjukkan kedekatan  hari akhirat  dari  segi waktu? Boleh jadi. Tetapi ketika itu tidak dapat dipahami bahwa kedekatan itu  hanya  dalam  arti  besok, seribu  atau  sepuluh  ribu tahun ke depan. Kedekatannya boleh jadi juga jika  dibandingkan  dengan  umur  dunia  yang  telah berlalu  sekian ratus juta tahun. Tetapi boleh jadi juga hadis dan ayat-ayat tersebut tidak menginformasikan kedekatan  dalam arti waktu.
Bila  kita cermati tentang kapan hari akhir tiba, maka jawaban yang diperintahkan kepada Nabi Saw. untuk diucapkan  adalah "Boleh jadi ia dekat".  Di  sisi  lain,  ayat  Al-Qamar dan Al-Anbiya' di atas, yang menggunakan bentuk kata kerja  masa lampau  untuk  satu  peristiwa kiamat yang belum lagi terjadi, mengandung makna kepastian sehingga kedekatan dalam  hal  ini dipahami dalam arti "pasti kedatangannya". Karena "segala yang akan datang adalah dekat, dan segala yang  telah  berlalu  dan tidak kembali adalah jauh."
Agaknya informasi Al-Quran tentang kedekatan ini, lebih dimaksudkan untuk menjadikan manusia selalu siap menghadapi kehadirannya. Karena itu pula, tidak satu atau dua ayat yang menegaskan bahwa kedatangannya sangat tiba-tiba, seperti misalnya firman berikut:
Apakah mereka merasa aman dari kedatangan siksa Allah yang meliputi mereka atau kedatangan kiamat kepada mereka secara tiba-tiba sedangkan mereka tidak menghindarinya? (QS Yusuf [ 12]: 107).
Di sisi lain, ditemukan bahwa yang bertanya tentang waktu kedatangannya adalah orang-orang musyrik, bukan orang beriman.
Orang-orang yang tidak beriman menyangkut hari kiamat, meminta supaya hari itu segera didatangkan, sedangkan orang-orang yang beriman merasa takut akan kedatangannya Mereka yakin bahwa kiamat adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa orang-orang yang membantah tentang terjadinya kiamat benar-benar dalam kesesatan yang jauh (QS Al-Syura [42]: 18).
Ketakutan tentang hari kiamat  akan  mengantarkan  orang  yang percaya  untuk  berbuat sebanyak mungkin amal ibadah, sehingga mereka dapat menggapai kebahagiaan abadi di sana.

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

KEHIDUPAN AKHIRAT

KEHIDUPAN AKHIRAT

Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala:
Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup, dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit sehingga hari itu langit menjadi lemah (QS Al-Haqqah [69]: 13-16).
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
  “ ... dan ditiup sangkakala sehingga matilah siapa (makhluk) yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah” (QS Al-Zumar [39]: 68).
Yang dikecualikan antara lain  adalah  malaikat  Israfil  yang bertugas  meniup  sangkakala  itu.  Ini  karena masih akan ada peniupan kedua sebagaimana lanjutan ayat di atas:
Kemudian ditiupkan sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka (semua yang telah mati) berdiri menunggu (putusan Tuhan terhadap masing-masing) (QS Al-Zumar [39]: 68).
Banyak sekali ayat Al-Quran yang berbicara tentang  kehancuran alam  raya, matahari digulung, bulan terbelah, bintang-bintang pudar cahayanya, gunung dihancurkan sehingga menjadi debu yangbeterbangan   bagaikan   kapas,   dan  sebagainya.  Itu  semua merupakan kehancuran total, bukan kehancuran  bagian  tertentu saja dari alam raya ini.
Begitu  manusia  dihidupkan kembali dengan peniupan sangkakala kedua, tiba-tiba:
Sambil menundukkan pandangan, mereka keluar dari kubur mereka bagaikan belalang yang beterbangan. Mereka datang dengan cepat kepada penyeru itu. Orang-orang kafir -ketika itu- berkata: "Ini adalah hari yang sulit." (QS Al-Qamar [54]: 7-8).
Ada jarak waktu antara peniupan pertama dan kedua. Hanya Allah yang  mengetahui  kadar  waktu  itu.  Dan ketika semua makhluk telah meninggal, termasuk Israfil, Allah  Swt.  "berseru"  dan "bertanya":  “Kepunyaan siapakah kerajaan/kekuasaan hari ini? (Kemudian Allah menjawabnya sendiri): Kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan" (QS Mu'min [40]:16).
Saat peniupan kedua, manusia sadar bahwa  kehidupan  di  dunia hanya  sebentar  (QS  Al-Isra'  [17]: 43), bahkan mereka merasa hanya bagaikan boberapa  saat  di  sore  atau  pagi  hari  (QS Al-Nazi'at [79]: 46).
Dari  sana manusia digiring ke mahsyar (tempat berkumpul untuk menghadapi pengadilan Ilahi):  Setiap jiwa datang dengan satu penggiring dan satu penyaksi” (QS Qaf [50]: 21).
Penggiring adalah malaikat dan penyaksi  adalah  diri  manusia sendiri yang  tidak  dapat  mengelak,  atau amal perbuatannya masing-masing. Begitu penafsiran para ulama.
Dan ketika itu terjadilah pengadilan agung.
Pada hari itu yang menjadi saksi atas mereka adalah lidah, tangan, dan kaki mereka, menyangkut apa yang dahulu mereka lakukan (QS Al-Nur [24]: 24).
Bahkan boleh jadi, mulut mereka ditutup dan yang berbicara adalah tangan  mereka  kemudian  kaki  mereka  yang  menjadi saksi-saksinya, sebagaimana ditegaskan dalam surat Ya Sin (36):65.
Yang   ingin   diinformasikan   oleh  ayat-ayat  di  atas  dan semacamnya adalah bahwa pada hari itu  tidak  ada  yang  dapat mengelak,  tidak ada juga yang dapat menyembunylkan sesuatu dihadapan pengadilan yang maha agung itu.
Siapa yang mengerjakan (walau) sebesar zarrah (dari kebaikan), maka dia akan melihat (ganjarannya) (QS Az-Zilzal [99]: 7).
Demikian pula sebaliknya (baca surat Al-Zilzal [99]: 8).
Pengadilan Ilahi itu akan  diadakan  terhadap  setiap  pribadi mukalaf,
"Tidak ada satupun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Tuhan telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95)
Pengadilan itu menggunakan "timbangan" yang hak sehingga tidak ada  yang  teraniaya  karena walau sebesar biji sawi pun Tuhan akan mendatangkan ganjarannya. (Baca QS Al-Anbiyat [21]:  47).
Apakah timbangan itu sesuatu yang bersifat material atau hanya kiasan tentang keadilan mutlak,  tidaklah  banyak  pengaruhnya dalam  akidah, selama diyakini bahwa ketika itu tidak ada lagi sedikit penganiayaan pun. Yang pasti adalah:
Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Barangsiapa yang berat timbangan (amal salehnya) maka mereka adalah orang-orang beruntung, dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami (QS Al-A'raf [7]: 8-9)
Hasil pencatatan amal manusia yang ditimbang itu, akan diserahkan kepada setiap orang:
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitab (catatan amalnya) dari arah kanannya, maka (dengan gembira) ia berkata: "Inilah, bacalah kitabku ini. Sesungguhnya (sejak dahulu di dunia) aku yakin bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab (perhitungan) atas diriku." Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai; dalam surga yang tinggi, buah-buahannya dekat. (Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap dikarenakan amal-amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari terdahulu (di dunia)." Adapun yang diberikan kepadanya kitabnya dari arah kirinya, maka dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), dan aku tidak mengetahui apa hisab (perhitungan) terhadap diriku. Aduhai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak memberi manfaat bagiku. Telah hilang kekuasaan dariku" (QS Al-Haqqah [69]: 19-29).
Dari mahsyar (tempat berkumpul),  manusia  menuju  surga  atau neraka.  Beberapa  ayat  dalam Al-Quran menginformasikan bahwa dalam perjalanan ke sana mereka melalui  apa  yang  dinamai  "shirath" .
Antarlah mereka (hai malaikat) menuju Shirath Al-Jahim (QS Al-Shaffat [37]: 23).
Dalam konteks pembicaraan tentang hari akhirat, Allah berfirman:  Dan jika Kami menghendaki, pastilah Kami hapuskan penglihatan mata mereka, lalu mereka berlomba-lomba (mencari) ash-shirath (jalan). Maka, bagaimana mereka dapat melihatnya? (QS Ya Sin [36]: 66).
Di sisi lain Allah menegaskan pula bahwa:  Dan tidak seorang pun di antara kamu kecuali melewatinya (neraka). Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan-Nya. Kemudian Kami menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim, di dalam neraka dalam keadaan berlutut (QS Maryam [19]: 71-72).
Berdasar ayat-ayat tersebut, sementara ulama berpendapat bahwa ada yang dinamai "shirath" -berupa jembatan yang harus dilalui setiap orang menuju  surga.  Di  bawah  jalan  (jembatan)  itu terdapat neraka dengan segala tingkatannya. Orang-orang mukmin akan melewatinya dengan kecepatan  sesuai  dengan  kualitas ketakwaan  mereka.  Ada  yang melewatinya bagaikan kilat, atau seperti angin berhembus, atau secepat lajunya kuda; dan ada juga  yang  merangkak,  tetapi  akhirnya  tiba juga. Sedangkan orang-orang kafir akan menelusurinya pula tetapi mereka  jatuh ke neraka di tingkat yang sesuai dengan kedurhakaan mereka.
Konon shirath itu lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang, [kalimat dalam bahasa Arab]
Demikian kata Abu Sa'id sebagaimana diriwayatkan oleh  Bukhari dan Muslim.
Para  ulama khususnya kelompok Mu'tazilah yang sangat rasional menolak keberadaan shirath dalam pengertian material di  atas, lebih-lebih  melukiskannya  "dengan  sehelai  rambut  di belah tujuh".  Memang, melukiskannya  seperti  itu,  paling  tidak, bertentangan  dengan pengertian kebahasaan dari kata shirath. Kata tersebut berasal dari kata saratha yang  arti  harfiahnya adalah  "menelan".  Kata  shirath antara lain diartikan "jalan yang lebar", yang karena lebarnya maka seakan-akan ia  menelan setiap yang berjalan di atasnya.

Betapapun,  pada  akhirnya  hanya  ada  dua tempat, surga atau neraka.

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

KEHIDUPAN AKHIRAT

HARI AKHIRAT
Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menuturkan  sebuah  riwayat  bahwa Nabi  Saw.  setelah  selesainya  Perang  Badar,  menuju tempat pemakaman pemuka-pemuka kaum musyrik yang  tewas  ketika  itu, dan memanggil nama-nama mereka satu per satu:
  "Wahai penghuni al-qalib (sumur atau kubur). Hai 'Utbah bin Rabi'ah. Hai Syaibah bin Rabi'ah. Hai Umayyah bin Khalaf. Hai Abu Jahl bin Hisyam. Apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan    kalian dengan benar? Karena sesungguhnya aku telah    menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku dengan benar."    Kaum Muslim yang ada di sekitar Nabi bertanya: "Wahai    Rasulullah, apakah engkau memanggil/berbicara dengan    kaum yang telah menjadi bangkai (mati)?" Beliau    menjawab: "Kamu tidak lebih mendengar dari mereka    (tentang) apa yang saya ucapkan, hanya saja mereka tidak dapat menjawab saya."

Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan bahwa Masruq berkata:
"Kami bertanya (atau aku bertanya) kepada Abdullah bin Mas'ud tentang mayat, Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah    orang-orang mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapatkan rezeki (QS Ali 'Imran [2]:169)."

Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya kami telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw., dan    beliau bersabda, 'Arwah mereka di dalam rongga burung(berwarna) hijau dengan pelita-pelita yang tergantung di 'Arsy, terbang dengan mudah di surga ke manapun mereka kehendaki, kemudian kembali lagi ke pelita-pelita itu. Tuhan mereka "mengunjungi" mereka dengan kunjungan sekilas dan berfirman: "Apakah kalian menginginkan sesuatu?" Mereka menjawab: "Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahaya di surga, ke mana pun kami kehendaki?" Tuhan melakukan hal yang demikian terhadap mereka tiga kali dan ketika mereka sadar bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa  meminta sesuatu, mereka berkata: "Wahai Tuhan, kami ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami sehingga kami dapat gugur terbunuh pada jalan-Mu (sabilillah) sekali lagi. Setelah Tuhan melihat bahwa mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka dibiarkan."'

Ada juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ali  bin  Abi  Thalib bahwa beliau  bertanya  kepada  Yunus  bin Zibyan: "Bagaimana pendapat  orang  tentang  arwah  orang-orang  mukmin?"   Yunus menjawab:  "Mereka  berkata  bahwa  arwahnya  berada di rongga burung berwarna hijau di dalam pelita-pelita  di  bawah  'Arsy Illahi."

Ali bin Abi Thalib berkomentar: “Mahasuci Allah. Seorang mukmin lebih mulia di sisi Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau, wahai Yunus. Seorang mukmin bila diwafatkan Allah, ruhnya ditempatkan pada satu wadah sebagaimana wadahnya ketika di dunia. Mereka makan dan minum, sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia”.

Boleh jadi ada saja yang  bertanya  bagaimana  kehidupan  itu? Kita  tidak  dapat  menjelaskan. Memang ada saja yang berusaha mengilmiahkan kehidupan di sana, tetapi agaknya  hal  tersebut lebih banyak merupakan  kemungkinan,  walaupun  ada  sekian riwayat yang dijadikan pegangan.

Mustafa Al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa  manusia  memiliki "jasad  berganda":  pertama,  jasad  duniawi; dan kedua, jasad barzakhi. Mustafa dalam --Baina  'Alamain--  setelah  mengutip sekian  banyak  pendapat  ulama  tentang hal di atas, berusaha untuk menjelaskan hal  tersebut  dengan  teori  frekuensi  dan gelombang-gelombang  suara. Contoh konkret yang dikemukakannya adalah radio yang dapat menangkap  sekian  banyak  suara  yang berbeda-beda  melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia saling  masuk-memasuki,  namun  ia  tidak  menyatu  dan  tetap berbeda.  Ini  pula  yang  menjadikan  kita  tak dapat melihat sesuatu yang sebenarnya "ada" namun kita tak melihatnya akibat perbedaan  frekuensi  dan  gelombang-gelombang  itu.  Apa yang dikemukakan ini -menurutnya sejalan dengan informasi Al-Quran, antara lain yang berbicara tentang keadaan seorang yang sedang sekarat: Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (yang sekarat), sedangkan (malaikat) Kami lebih dekat kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat (QS AlWaqi'ah [56]: 83-85).

Atau firman-Nya:   Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).

Kedua ayat mulia di atas mengemukakan teori gelombang dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata, dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya, sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat oleh mata. Dengan demikian kedua ayat tersebut menunjuk ke alam materi yang terasa oleh kita semua, dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata kita. Teori ini juga menafsirkan kepada kita jawaban Nabi Saw. ketika kaum Muslim mempertanyakan pembicaraan beliau dengan Ahl Al-Qalib (tokoh-tokoh kaum musyrik yang gugur dalam peperangan Badar) sebagaimana dikemukakan di atas. (Mustafa Al-Kik dalam Baina 'Alamain hlm. 51)

Akhirnya  betapa  pun  terdapat  sekian  banyak  ayat   dengan penafsiran-penafsiran  di atas, serta ada pula riwayat-riwayat dari berbagai sumber dan  kualitas,  namun  kita  tidak  dapat mencap  mereka  yang  mengingkari  kehidupan  barzakh, sebagai orang-orang yang  keluar  dari  keimanan  atau  ajaran  Islam, selama  mereka  tetap  mengucapkan  dua  kalimat syahadat. Ini disebabkan karena akidah harus diangkat  dari  nash  keagamaan yang  pasti,  yaitu  Al-Quran  dan  maknanya  pun harus pasti. sedangkan penafsiran- penafsiran yang dikemukakan di atas belum mencapai tingkat kepastian yang dapat dijadikan akidah.

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
 

Tanda-tanda Ikhlas Seorang Hamba

1. Tidak mencari popularitas

2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian

3. Tidak silau dan cinta jabatan

4. Tidak diperbudak imbalan dan balas budi

5. Tidak mudah kecewa